Pages

Sunday, November 29, 2009

Palu Arit Di Sungai Brantas: Refleksi Diri dan Bangsa


Setiap kali dalam perjalanan Surabaya - Jombang via depan Pabrik Gula Gempol Kerep Mojokerto hingga Kecamatan Ploso (Jombang), ketika melintasi sepanjang jalan yang menyusuri Sungai Brantas pikiran penulis selalu melamun. Melamun teringat dengan buku yang pernah penulis baca waktu kuliah dulu. PALU ARIT DILADANG TEBU: Sejarah Pembantaian Massal Yang Terlupakan (1965-1966) karya Hermawan Sulistiyo. Buku yang membahas peristiwa pembunuhan massal orang-orang yang menjadi atau dianggap menjadi aktivis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi onderbouw-nya. Disebutkan di buku tersebut, sungai Brantas menjadi semacam tempat pembuangan mayat-mayat yang dibantai.

Untuk kali ini penulis coba untuk berhenti sejenak di pinggiran sungai Brantas...mencoba untuk memfokuskan lamunan penulis mengenai peristiwa yang terjadi di pertengahan tahun 1960an tersebut, khususnya di wilayah Jombang dan Kediri yang menjadi fokus kajian Hermawan Sulistiyo...

Disinilah aku...dibawah langit mendung abu-abu kelabu...dengan air yang berwarna coklat keruh...dengan pinggirnya banyak ditumbuhi pohon pisang. Terlihat pula para pekerja penambang pasir hilir mudik mengangkut pasir menggunakan keranjang bambu yang dipikulnya.

Mata penulis menerawang jauh...membayangkan pada tahun-tahun itu ribuan mayat terapung tanpa kepala, yang disebutkan dalam buku tersebut banyak simpatisan PKI dibunuh dan mayatnya dibuang begitu saja di sungai Brantas hingga warna airnya menjadi merah. Diperkirakan 78.000-500.000 orang telah dibantai dalam kurun waktu itu. Bahkan, beberapa sarjana memperkirakan jumlah korban mencapa satu juta orang. Ironisnya, sedikit sekali penelitian yang secara khusus membahas peristiwa tersebut.

Selama ini, apa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut (1965-1966) merupakan sisi kelam yang sejarah bangsa Indonesia. Tak ada satu penjelasan yang cukup tuntas terhadap pembantaian massal yang meluas tersebut.

Awal mula konflik sosial yang melibatkan sungai Brantas sebagai setting tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Dalam situasi sistem Demokrasi Terpimpin, partai-partai politik terbesar-PKI, PNI, Masyumi, dan NU-kerap kali menerapkan pola-pola politik konfrontasi untuk menggalang kekuatan massa.
  2. Dijelaskan bahwa benih-benih konflik memang sudah muncul antara pegawai Pabrik Gula dengan para petani yang umumnya adalah simpatisan PKI. Ketika itu, kondisi pertumbuhan ekonomi begitu memprihatinkan. Konstelasi sosial tersebut turut mempengaruhi kinerja produksi pabrik-pabrik gula, sehingga elemen-elemen sosial yang terlibat di dalamnya juga terkena imbas sosialnya.
  3. Penerapan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) di awal tahun 1960 ikut menebarkan benih-benih konflik sosial di antara kelompok petani yang merupakan basis massa PKI dengan kelompok-kelompok tuan tanah yang sebagian melibatkan kalangan komunitas pesantren.
  4. Aksi-aksi sepihak kelompok petani untuk mengambil alih tanah milik para tuan tanah tersebut juga merupakan bentuk awal konflik sosial.
  5. Terjadinya konflik dahsyat adalah kasus bentrokan anggota PKI dengan para pemuda yang tergabung dalam organisasi Persatuan Pelajar Islam (PII), sayap pelajar Masyumi, di Kanigoro (wilayah Kediri, Jawa Timur) pada bulan Januari 1965.
Maka, ketika pada awal Oktober 1965 dari Jakarta terdengar kabar tentang pembunuhan yang melibatkan PKI, terhadap tujuh orang perwira tinggi Angkatan Darat, momen ini lalu dimanfaatkan untuk menjadi semacam "pembenaran" bagi upaya menuntaskan berbagai dendam dan konflik sosial yang punya akar sejarah cukup dalam.

Dimulailah aksi-aksi pembersihan terhadap warga PKI. Dalam kasus di Jombang dan Kediri (yang menjadi fokus kajian Hermawan Sulistiyo), terlihat peranan kelompok komunitas pesantren dalam aksi-aksi pembantaian tersebut cukup besar. Selain sebagai sumber legitimasi religius, kelompok pesantren ini bahkan juga terlibat langsung di lapangan.

Sebeginikah kejamnya bangsa Indonesia? Apa benar peristiwa pembantaian ini merupakan cikal bakal kekerasan yang terjadi di Indonesia sesudahnya seperti konflik Ambon, Sampit, Poso, dan konflik kekerasan lainnya?

Yah..sebaiknya kita akui sajalah jika kekisruhan tingkat nasional pada dekade tahun 1950-an hingga 1960-an telah turut menyumbangkan terbentuknya suatu konstruksi budaya politik yang sarat dengan unsur kekerasan. Elemen-elemen politik di tingkat bawah terbawa oleh provokasi-provokasi elite politik nasional sehingga interaksi sosial berjalan kurang harmonis. Sebagai contoh pembunuhan 7 Jenderal AD oleh PKI telah menjadikan semacam pembenaran dan menyeret masyarakat kelas bawah di daerah untuk terlibat dalam konflik sosial yang berujung pada pembantaian massal.

Akhirnya lamunan penulis buyar ketika titik-titik air hujan mulai turun...dan langit Brantas semakin mengharu pekat...para penambang pasir mulai berteduh. Segera penulis melanjutkan perjalanan...perjalanan di tengah hujan...meskipun berat harus penulis lakukan agar sampai tujuan.
Memang kita harus melanjutkan perjalanan hidup meskipun kadang perjalanan tersebut diwarnai dengan hambatan yang kadang kala sangat menyulitkan, dan terus menatap masa depan...tapi sesekali bolehlah kita menoleh ke belakang untuk melihat kesalahan apa yang telah kita lakukan sebelumnya agar kita tidak mengulanginya di masa mendatang...
Benarkan Indonesia?

Semoga konflik sosial semacam itu tidak pernah terulang lagi..
Jaya terus Indonesia..

-----------------------------------






NB: Sebelumnya agar tidak terjadi kesalahpahaman perlu diingat bahwa penulis sangat tidak setuju dengan yang namanya paham Komunisme. Hal ini penting dicatat karena dalam pikiran masyarakat Indonesia terbentuk suatu stereotip buruk mengenai paham komunis ini sehingga nantinya tidak melahirkan konflik antara penulis dan berbagai pihak. Dan tulisan ini hanya sebagai buah pikiran penulis saja yang kebetulan menyukai masalah sosial politik di kehidupan sekitar.

Tuesday, November 10, 2009

Pahlawan Itu Diciptakan, Bukan Dilahirkan

"Saudara-saudara rakyat Surabaya.
Bersiaplah! Keadaan genting.
Tetapi saya peringatkan sekali lagi.
Jangan mulai menembak.
Baru kalau kita ditembak.
Maka kita akan ganti menyerang mereka itu.
Kita tunjukkan bahwa kita itu adalah orang yang benar-benar ingin merdeka.
Dan untuk kita saudara-saudara.
Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.
Semboyan kita tetap.
Merdeka atau mati.
Dan kita yakin, Saudara-saudara.
Akhirnya, pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita.
Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar.
Percayalah Saudara-saudara!
Tuhan akan melindungi kita sekalian.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Merdeka..........!!!!!"

Masih ingatkah atau taukah dengan pidato tersebut?


Yup...pidato Bung Tomo

Taukah anda jika Bung Tomo yang merupakan ikon perjuangan Arek-Arek Suroboyo melawan penjajah pada tahun 1945 sehingga tiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan dan menjadikan Surabaya sebagai Kota Pahlawan baru ditetapkan atau menjadi Pahlawan Nasional tepat pada satu tahun yang lalu tepatnya tahun 2008???

Ternyata untuk menjadi seorang pahlawan yang diakui oleh negara tidak hanya cukup dengan mengorbankan seluruh jiwa dan raganya…

Nama Bung Tomo sebenarnya sudah berkali-kali diusulkan menjadi pahlawan. Baik oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur maupun DPRD Jatim. Namun, pemerintah, rupanya, tidak menggubris usul tersebut. Padahal, dalam sejarah kemerdekaan, nama Bung Tomo menjadi ikon hari pahlawan, sebagai tokoh utama dalam pertempuran 10 November 1945 di Hotel Oranye, Surabaya.

Tapi bagaimanapun juga, bagi masyarakat Surabaya dan Indonesia pada umumny, Bung Tomo lebih dari sekedar pahlawan…pahlawan yang tidak perlu penghargaan…pahlawan yang bersedia mati demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia…dan pahlawan yang selalu ada di setiap hati rakyat Indonesia.

Dan sebenarnya yang namanya Pahlawan itu tidak dilahirkan...tetapi seorang Pahlawan itu diciptakan. Diciptakan oleh keadaan yang memang memaksa. Kita tau bagaimana pada saat jaman penjajahan banyak sekali munculnya orang-orang yang dengan gagah berani melawan penjajah...pertanyaannya: Apakah orang-orang tersebut murni karena ingin menjadi pahlawan atau secara tak sengaja memanggul senjata dan dengan gagah berani melawan penjajah yang merebut wilayahnya?

Ambil contoh Pangeran Diponegoro. Awal mula Pangeran Diponegoro melawan Belanda disebabkan masalah pribadi, yaitu ketika Belanda dengan seenaknya mencabut patok yang menjadi wilayah (tanah) leluhurnya, sehingga Diponegoro berusaha merebut kembali dan melebar dengan perjuangan melawan penjajah. Jadi kalau boleh menyimpulkan, asalkan mengangkat senjata, melawan penjajah maka suatu saat layak disebut pahlawan meskipun tujuan mengangkat senjata itu hanya urusan pribadi sekalipun...

Tapi jujur...betapa susah dan ribetnya jika ingin menjadi Pahlawan Nasional. Ada beberapa tahapan yang dilakukan pemerintah dalam menetapkan seorang tersebut pantas tidaknya menjadi Pahlawan Nasional, bahkan seperti Bung Tomo pun harus menunggu berpuluh-puluh tahun.

Dalam UU No. 33 Prps tahun 1964, ada tujuh syarat administratif yang menjadi kriteria yang harus dipenuhi, yaitu:
  1. Warga Negara Indonesia yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya :
    • Telah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik / perjuangan dalam bidang lain mencapai / merebut / mempertahankan / mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
    • Telah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara.
    • Telah menghasilkan karya besar yang mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
  2. Pengabdian dan Perjuangan yang dilakukannya berlangsung hampir sepanjang hidupnya (tidak sesaat) dan melebihi tugas yang diembannya.
  3. Perjuangan yang dilakukannya mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.
  4. Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan/ nasionalisme yang tinggi,
  5. Memiliki akhlak dan moral yang tinggi.
  6. Tidak menyerah pada lawan / musuh dalam perjuangannya.
  7. Dalam riwayat hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dapat merusak nilai perjuangannya.
Tapi syarat-syarat tersebut bisa kita sederhanakan menjadi seperti ini:
Syarat-syarat menjadi seorang pahlawan:
  1. Rela Berkorban Demi Negara

    Ex: Pangeran Diponegoro yang bersedia mati dan melawan penjajah hingga titik darah penghabisan

  2. Lolos Administrasi

    ribet Untuk mendapatkan gelar kepahlawanan harus melewati tahap-tahap tertentu. Pertama harus diusulkan atau mengajukan permohonan. Alur proses pengusulan adalah sepenuhnya dari masyarakat atau perwakilan masyarakat seperti organisasi masyarakat, organisasi sosial, ataupun pemerintah daerah. Setelah itu, syarat lainnya, nama yang diajukan tersebut harus diseminarkan. Tentunya didukung data-data valid mengenai sejarah dan jasa-jasanya dan untuk mengetahui, apakah ada pihak yang berkeberatan dengan pengangkatan tersebut. Dari situ kemudian diusulkan kepada Badan Pembina Pahlawan Pusat yang bersifat independen untuk diserahkan kepada Departemen Sosial.

  3. Mempunyai Pangkat Yang Tinggi

    Demo Veteran Pernah gak dengar anak buahnya Jenderal Sudirman yang ikut berperang atau yang ikut membawa tandu mati dalam peperangan mendapat gelar pahlawan? Kalo veteran iya…(itupun kalo dia terdaftar)..(pahlawan dengan veteran beda gak sih??)

  4. Memakai Kostum Unik

    pahlawan bertopengEx: Pahlawan Bertopeng

  5. Jangan Bertingkah Konyol

    zidane-materazzi1Ex: Zinedine Zidane yang merupakan pahlawan kesebelasan Perancis melakukan tindakan bodoh saat final World Cup 2006 dengan menanduk dada Marco Materazzi ketika Perancis bertemu Italia… Pada pagi harinya muncul tulisan begini di headline: “Zizou…From Hero to Zero”.

  6. Harus Mati

    dscn469911Yup…Harus mati…