Setiap kali dalam perjalanan Surabaya - Jombang via depan Pabrik Gula Gempol Kerep Mojokerto hingga Kecamatan Ploso (Jombang), ketika melintasi sepanjang jalan yang menyusuri Sungai Brantas pikiran penulis selalu melamun. Melamun teringat dengan buku yang pernah penulis baca waktu kuliah dulu. PALU ARIT DILADANG TEBU: Sejarah Pembantaian Massal Yang Terlupakan (1965-1966) karya Hermawan Sulistiyo. Buku yang membahas peristiwa pembunuhan massal orang-orang yang menjadi atau dianggap menjadi aktivis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi onderbouw-nya. Disebutkan di buku tersebut, sungai Brantas menjadi semacam tempat pembuangan mayat-mayat yang dibantai.
Untuk kali ini penulis coba untuk berhenti sejenak di pinggiran sungai Brantas...mencoba untuk memfokuskan lamunan penulis mengenai peristiwa yang terjadi di pertengahan tahun 1960an tersebut, khususnya di wilayah Jombang dan Kediri yang menjadi fokus kajian Hermawan Sulistiyo...
Disinilah aku...dibawah langit mendung abu-abu kelabu...dengan air yang berwarna coklat keruh...dengan pinggirnya banyak ditumbuhi pohon pisang. Terlihat pula para pekerja penambang pasir hilir mudik mengangkut pasir menggunakan keranjang bambu yang dipikulnya.
Mata penulis menerawang jauh...membayangkan pada tahun-tahun itu ribuan mayat terapung tanpa kepala, yang disebutkan dalam buku tersebut banyak simpatisan PKI dibunuh dan mayatnya dibuang begitu saja di sungai Brantas hingga warna airnya menjadi merah. Diperkirakan 78.000-500.000 orang telah dibantai dalam kurun waktu itu. Bahkan, beberapa sarjana memperkirakan jumlah korban mencapa satu juta orang. Ironisnya, sedikit sekali penelitian yang secara khusus membahas peristiwa tersebut.
Selama ini, apa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut (1965-1966) merupakan sisi kelam yang sejarah bangsa Indonesia. Tak ada satu penjelasan yang cukup tuntas terhadap pembantaian massal yang meluas tersebut.
Awal mula konflik sosial yang melibatkan sungai Brantas sebagai setting tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Dalam situasi sistem Demokrasi Terpimpin, partai-partai politik terbesar-PKI, PNI, Masyumi, dan NU-kerap kali menerapkan pola-pola politik konfrontasi untuk menggalang kekuatan massa.
- Dijelaskan bahwa benih-benih konflik memang sudah muncul antara pegawai Pabrik Gula dengan para petani yang umumnya adalah simpatisan PKI. Ketika itu, kondisi pertumbuhan ekonomi begitu memprihatinkan. Konstelasi sosial tersebut turut mempengaruhi kinerja produksi pabrik-pabrik gula, sehingga elemen-elemen sosial yang terlibat di dalamnya juga terkena imbas sosialnya.
- Penerapan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) di awal tahun 1960 ikut menebarkan benih-benih konflik sosial di antara kelompok petani yang merupakan basis massa PKI dengan kelompok-kelompok tuan tanah yang sebagian melibatkan kalangan komunitas pesantren.
- Aksi-aksi sepihak kelompok petani untuk mengambil alih tanah milik para tuan tanah tersebut juga merupakan bentuk awal konflik sosial.
- Terjadinya konflik dahsyat adalah kasus bentrokan anggota PKI dengan para pemuda yang tergabung dalam organisasi Persatuan Pelajar Islam (PII), sayap pelajar Masyumi, di Kanigoro (wilayah Kediri, Jawa Timur) pada bulan Januari 1965.
Dimulailah aksi-aksi pembersihan terhadap warga PKI. Dalam kasus di Jombang dan Kediri (yang menjadi fokus kajian Hermawan Sulistiyo), terlihat peranan kelompok komunitas pesantren dalam aksi-aksi pembantaian tersebut cukup besar. Selain sebagai sumber legitimasi religius, kelompok pesantren ini bahkan juga terlibat langsung di lapangan.
Sebeginikah kejamnya bangsa Indonesia? Apa benar peristiwa pembantaian ini merupakan cikal bakal kekerasan yang terjadi di Indonesia sesudahnya seperti konflik Ambon, Sampit, Poso, dan konflik kekerasan lainnya?
Yah..sebaiknya kita akui sajalah jika kekisruhan tingkat nasional pada dekade tahun 1950-an hingga 1960-an telah turut menyumbangkan terbentuknya suatu konstruksi budaya politik yang sarat dengan unsur kekerasan. Elemen-elemen politik di tingkat bawah terbawa oleh provokasi-provokasi elite politik nasional sehingga interaksi sosial berjalan kurang harmonis. Sebagai contoh pembunuhan 7 Jenderal AD oleh PKI telah menjadikan semacam pembenaran dan menyeret masyarakat kelas bawah di daerah untuk terlibat dalam konflik sosial yang berujung pada pembantaian massal.
Akhirnya lamunan penulis buyar ketika titik-titik air hujan mulai turun...dan langit Brantas semakin mengharu pekat...para penambang pasir mulai berteduh. Segera penulis melanjutkan perjalanan...perjalanan di tengah hujan...meskipun berat harus penulis lakukan agar sampai tujuan.
Memang kita harus melanjutkan perjalanan hidup meskipun kadang perjalanan tersebut diwarnai dengan hambatan yang kadang kala sangat menyulitkan, dan terus menatap masa depan...tapi sesekali bolehlah kita menoleh ke belakang untuk melihat kesalahan apa yang telah kita lakukan sebelumnya agar kita tidak mengulanginya di masa mendatang...
Benarkan Indonesia?
Semoga konflik sosial semacam itu tidak pernah terulang lagi..
Jaya terus Indonesia..
NB: Sebelumnya agar tidak terjadi kesalahpahaman perlu diingat bahwa penulis sangat tidak setuju dengan yang namanya paham Komunisme. Hal ini penting dicatat karena dalam pikiran masyarakat Indonesia terbentuk suatu stereotip buruk mengenai paham komunis ini sehingga nantinya tidak melahirkan konflik antara penulis dan berbagai pihak. Dan tulisan ini hanya sebagai buah pikiran penulis saja yang kebetulan menyukai masalah sosial politik di kehidupan sekitar.