Pages

Friday, February 5, 2010

Counter Terrorism: Antara TNI dan POLRI


Entahlah apa yang dirasakan oleh para prajurit TNI ketika Polri dengan Densus 88 nya berhasil memberantas aksi terorisme di Indonesia. Bukannya dalam UU TNI No. 34/2004 disebutkan mengenai fungsi dan tugas pokok TNI salah satunya adalah memberantas terorisme? Tapi mengapa Polri yang diberikan wewenang untuk menindak para teroris?
Padahal TNI memiliki unit pasukan khusus antiteror disetiap kesatuan baik itu Angkatan Darat, Laut, dan Udara yang tidak kalah hebatnya. Bahkan secara historis, Den 81 Antiteror yang tergabung dalam korps Kopasus pernah mencatat prestasi membanggakan ketika berhasil membebaskan sandera dan melumpuhkan pembajak pesawat Woyla di Don Muang, Thailand. Setiap tahun TNI juga mengirim prajurit terbaiknya menimba ilmu di pasukan antiteror di negara-negara lain seperti di Jerman, Belanda, Perancis, dll.

Kenapa?

Pasca tragedi 9/11 tahun 2001, politik luar negeri Amerika Serikat berubah menjadi lebih offensif terhadap negara-negara yang disinyalir merupakan tempat tumbuh berkembangnya gerakan terorisme. Kebijakan preventif Amerika Serikat juga diterapkan negara-negara sekutunya dan negara-negara berkembang lainnya dengan cara menjalin kerjasama dengan membentuk unit pasukan khusus antiteror, tidak terkecuali dengan Indonesia. Di Indonesia sendiri, terorisme menjadi ancaman nyata dan membahayakan keamanan negara. Pasca Bom Bali I tahun 2002, Indonesia menjadi sangat rentan terhadap serangan teroris. Jadi Indonesia juga mempunyai kewajiban untuk memerangi terorisme.

Di Indonesia, tanggung jawab dalam memberantas aksi terorisme berada di tangan TNI. Secara normatif, tugas TNI dalam penanggulangan terorisme merupakan bagian dari tugas pokok TNI untuk menjalankan operasi militer selain perang (military operation other than war) sebagaimana ditegaskan dalam UU TNI No. 34/2004.

Tetapi ada kendala yang harus dihadapi oleh Amerika Serikat jika negara tersebut membentuk pasukan antiteror dari prajurit TNI. Karena hal ini tidak lepas dari kebijakan Amerika Serikat sebelumnya terhadap Indonesia dalam bidang militer. Sejak tahun 1999 Indonesia dikenai sanksi oleh Amerika Serikat berupa embargo militer terkait peristiwa Timor Timur pasca tragedi Santa Cruz dan pasca jajak pendapat tahun 1999. Sejak saat itu Amerika Serikat berhenti memasok suplai persenjataan maupun suku cadang terhadap alutsista milik TNI.

Agar tidak terjadi kebijakan ganda tersebut, maka Amerika Serikat beralih ke Polri sebagai patner dalam memberantas terorisme, maka dibentuklah Detasemen Khusus 88 sebagai pasukan antiteror. Pasukan khusus ini dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat melalui bagian Jasa Keamanan Diplomatik (Diplomatic Security Service) Departemen Negara AS dan dilatih langsung oleh instruktur dari CIA, FBI, dan U.S. Secret Service. Selain itu dalam memberantas terorisme harus dilakukan dengan bingkai penegakan hukum, dan itu hanya dimiliki oleh institusi kepolisian.

Keberhasilan Densus 88 dalam memberantas aksi terorisme memang patut diacungi jempol, tetapi pemerintah juga harus memperhatikan kedepan agar masalah kewenangan dalam memberantas terorisme ini tidak menimbulkan bibit konflik antara TNI dengan Polri.

Opsi yang harus dilakukan pemerintah dalam masalah ini adalah:
Mengembalikan tanggung jawab penanggulangan terorisme itu kepada TNI, atau merubah Undang-Undang dengan memberikan kewenangan penuh kepada Polri dalam membarantas terorisme.