Pages

Friday, March 26, 2010

Alliansi Militer Indonesia – Amerika Serikat


Salah satu isu yang akan dibahas dalam kunjungan Presiden Amerika Serikat Barack Obama ke Indonesia yang dijadwalkan pada tanggal 23 Maret 2010 (walaupun pada akhirnya kunjungan tersebut ditunda) adalah kerjasama di bidang militer. Amerika Serikat mengajak Indonesia masuk kedalam Alliansi Militer Amerika Serikat. Apakah Alliansi Militer tersebut menguntungkan bagi Indonesia?



Dalam sejarahnya, hubungan militer Indonesia-Amerika Serikat mengalami pasang surut. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh situasi politik internasional yang berubah-ubah mengikuti konteks dan isu yang berkembang dalam dunia internasional. Tetapi sebenarnya hal itu lebih disebabkan karena kepentingan luar negeri Amerika Serikat itu sendiri. Indonesia memiliki letak geografis yang sangat strategis di Asia Tenggara, maka tidak heran jika Amerika Serikat sangat berkepentingan dengan Indonesia. Alasan Amerika Serikat mengajak Indonesia masuk ke dalam Alliansi Militernya adalah:
  1. Amerika Serikat ingin mendirikan pangkalan militer di kepulauan Indonesia yang memiliki letak yang sangat strategis, tujuannya adalah mempertahankan hegemoninya di Asia dan membendung pengaruh Tiongkok.
  2. Amerika Serikat tidak ingin Indonesia menjadi sarang terorisme seperti di Mindanao yang dapat mengancam keamanan Amerika Serikat.
  3. Amerika Serikat mempunyai kepentingan atas Selat Malaka.
  4. Amerika Serikat ingin melindungi pundi-pundi ekonominya di Indonesia seperti Freeport dan Newmont, dan laboratorium Namru milik Angkatan Laut Amerika Serikat.
Sebagai negara yang menjalankan politik luar negeri bebas dan aktif, Indonesia harus mengambil kebijakan sesuai dengan kepentingan nasionalnya dan bisa mengkalkulasikan untung ruginya dalam menjalin hubungan dengan sebuah negara. Dalam Alliansi Militer ini, Indonesia pun harus berkaca pada sejarah di masa lalu menyangkut hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat.
Berikut ini adalah dimanika hubungan militer Indonesia-Amerika Serikat:
  • Tahun 1950an Amerika Serikat mendukung pemberontakkan PRRI dan Permesta.
  • Pada tahun 1960an ketika masalah Irian Barat, Amerika Serikat mendukung Indonesia dengan memaksa Belanda untuk berunding dengan Indonesia menyangkut status Irian Barat. Hal ini dilakukan Amerika Serikat setelah Indonesia mendatangkan persenjataan dari Uni Soviet dalam menghadapi Belanda. Dalam konteks Perang Dingin, tentu saja kebijakan Indonesia tersebut sangat merugikan Amerika Serikat sebagai Blok Barat. Amerika Serikat sangat khawatir jika Indonesia terlalu condong ke Uni Soviet.
  • Pertengahan tahun 1960an, Amerika Serikat diyakini berada dibalik peristiwa G30S/PKI untuk menjatuhkan rezim Soekarno karena Amerika Serikat ingin menguasai tambang emas di Papua, suatu hal yang sangat sulit dilakukan ketika rezim Soekarno yang anti terhadap Barat. Peristiwa tersebut memaksa pergantian pemerintahan di Indonesia. Soekarno dengan ideologi Nasakom-nya yang berhaluan kiri digantikan oleh Soeharto yang lebih condong ke Amerika Serikat. Pada masa Soeharto, pemerintah membuka kran seluas-luasnya terhadap investor asing.
  • Masih dalam konteks Perang Dingin, pada tahun 1970an Amerika Serikat juga mendukung Indonesia dalam mencaplok Timor Timur dan menjadikannya provinsi ke 27. Pada saat itu Timor Timur dikuasai oleh Fretilin (Frente Revolucionario de Timor Leste Independience) yang ingin menjadikan Timor Timur sebagai negara komunis.
  • Setelah Perang Dingin berakhir pada tahun 1989, Amerika Serikat mulai menjauhi Indonesia. Berbagai tuduhan pelanggaran Hak Asasi Manusia mulai disematkan Amerika Serikat kepada Militer Indonesia. Dan akhirnya pada tahun 1993 Amerika Serikat menghentikan bantuan militer kepada Indonesia berupa embargo militer setelah militer Indonesia dituduh sebagai pelanggar HAM berat dalam kasus Santa Cruz dan Balibo. Pada tahun 1999 Amerika Serikat juga menuduh militer Indonesia dibalik penghilangan paksa aktivis Mei 98 dan kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor Timur.
  • Pada tahun 2001 pasca tragedi WTC, Amerika Serikat mulai mengkampanyekan perang global melawan terorisme. Kebijakan tersebut juga berimbas terhadap Indonesia. Amerika Serikat menilai Indonesia rentan sekali menjadi sarang terorisme di Asia Tenggara, terutama sejak peristiwa Bom Bali I tahun 2002. Oleh karena itu normalisasi hubungan militer Amerika Serikat dan Indonesia mulai dilaksanakan dengan mencabut embargo militer dan pada tahun 2010 mulai menjajaki kemungkinan membentuk Alliansi Militer.
Tidak hanya dengan Indonesia, hubungan Amerika Serikat dengan negara-negara lain pun juga sering berubah dengan cepat, misalnya dengan Iran. Hubungan Amerika Serikat dengan Iran ketika dipimpin oleh Syah Reza Pahlevi berlangsung dengan harmonis, bahkan Amerika Serikat memberikan bantuan kepada Iran dalam kerjasama nuklir, tetapi ketika terjadi Revolusi Iran pada tahun 1979, hubungan Amerika Serikat dengan Iran pun putus. Bahkan pada masa pemerintahan George W Bush, Amerika Serikat memasukkan Iran ke dalam Axe of Evil bersama Kuba dan Korea Utara. Dari pengalaman tersebut, bukan tidak mungkin Amerika Serikat akan melupakan Indonesia di kemudian hari. Indonesia harus belajar dari pengalaman kerjasama militer dengan Amerika Serikat di masa lalu.

Masuk kedalam Aliansi Militer Amerika Serikat sama halnya kita tunduk dan patuh terhadap kemauan Amerika Serikat. Lihat saja Alliansi Militer yang dibangun Amerika Serikat dengan Korea Selatan, sebagai konsekuensinya Korea Selatan terpaksa mengirimkan pasukannya bergabung dengan pasukan Koalisi pimpinan Amerika Serikat ketika invasi ke Afghanistan. Apakah militer Indonesia nantinya akan seperti itu jika kita bergabung dalam Alliansi Militer Amerika Serikat? Apakah Indonesia akan mengirimkan tentara ke Afghanistan, ikut pasukan koalisi ke Irak, ikut mengembargo Palestina, ikut memusuhi Iran? Tentu saja hal ini bertentangan dengan konstitusi kita.

Inilah yang harus dicermati pemerintah Indonesia dalam mempertimbangkan kerjasama militer tersebut. Karena apapun bentuknya kerjasama militer Amerika Serikat dengan Indonesia lebih banyak merugikan bagi Indonesia. Dalam meningkatkan kemampuan militer, Indonesia dituntut untuk tidak tergantung pada satu negara adidaya saja, karena ketergantungan kita pada satu negara akan mengakibatkan kerugian bagi Indonesia. Misalnya ketika kita diembargo militer oleh Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu, banyak pesawat tempur kita tidak bisa beroperasi karena suku cadang pesawat tersebut semuanya dipasok oleh Amerika Serikat. Sehingga yang terjadi adalah militer kita tidak bisa menjaga kedaulatan NKRI secara maksimal. Kita bisa mencari patner dalam bidang militer yang tidak kalah kemampuannya dengan Amerika Serikat, misalnya Rusia dan negara-negara lainnya. Selain itu pemerintah juga harus meningkatkan industri dalam negeri dalam memporduksi peralatan militer.

Jadi kesimpulannya, kerjasama dengan Amerika Serikat memang ada kelebihannya ada kerugiannya juga, tetapi hendaknya kerjasama tersebut dilakukan sesuai dengan kepentingan nasional kita. Kita harus bisa selektif dalam menyetujui point kerjasama tersebut. Tetapi masalah yang lebih penting adalah:
Jangan biarkan mereka mendirikan pangkalan militer di wilayah Republik Indonesia!!!

Friday, March 19, 2010

Mengenal Lebih Jauh US Air Force C-17 Globemaster III



Menjelang kedatangan Presiden Amerika Serikat Barack Obama di Indonesia, sebuah pesawat milik US Air Force C-17 Globemaster III, Kamis, 18 Maret 2010 siang mendarat di base operasional pangkalan udara Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Selain mengangkut sejumlah personel angkatan udara AS, pesawat jenis kargo ini juga mengangkut sejumlah logistik yang diperlukan selama Obama berada di Indonesia.
Meskipun pada akhirnya Obama membatalkan kunjungannya ke Indonesia karena urusan dalam negeri, tetapi kedatangan pesawat tersebut menarik perhatian masyarakat Indonesia. Untuk lebih mengetahui tentang spesifik pesawat C-17 Globemaster III, berikut penjelasannya:

C-17 Globemaster III adalah sebuah pesawat angkut militer Amerika Serikat yang diproduksi oleh Boing Integrated Defense System dan dioperasikan oleh Angkatan Udara Amerika Serikat, Angkatan Udara Britania Raya, Angkatan Udara Australia, dan Militer Kanada.

Pesawat ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan transportasi udara yang membawa peralatan perang besar dan pasukan atau bantuan kemanusiaan melintasi antar benua, dan mampu mendarat di landasan kecil. Dan juga memiliki kemampuan untuk secara cepat menyebarkan satuan tempur ke sasaran dan mempertahankannya dengan menerjunkan pasokan logistik selama misi berlangsung. C-17 Globemaster III juga mampu melakukan taktis pengangkutan melalui udara, evakuasi medis dan misi penerjunan.



Role
Strategic/tactical airlifter
National origin
United States
Manufacturer
McDonnell Douglas / Boeing
First flight
15 September 1991
Introduction
14 July 1993
Status
In service
Primary users
United States Air Force
Royal Air Force
Royal Australian Air Force
Canadian Forces
Number built
212 as of January 2010
Unit cost
$200 million (2010)
Developed from
McDonnell Douglas YC-15



General characteristics
Crew
3: 2 pilots, 1 loadmaster
Capacity:

  • 102 troops with standard centerline seats or
  • 134 troops with palletized seats or
  • 36 litter and 54 ambulatory patients or
  • Cargo, such as an M1 Abrams tank
Payload
170,900 lb (77,519 kg) of cargo distributed at max over 18 463L master pallets or a mix of palletized cargo and vehicles
Length
174 ft (53 m)
Wingspan
169.8 ft (51.75 m)
Height 
55.1 ft (16.8 m)
Wing area        
3,800 ft² (353 m²)
Empty weight
282,500 lb (128,100 kg)
Max takeoff weight
585,000 lb (265,350 kg)
Powerplant
4× Pratt & Whitney F117-PW-100 turbofans, 40,440 lbf (180 kN) each
Fuel capacity
35,546 US gal (134,556 L)
  

Performance
Cruise speed
Mach 0.76 (450 knots, 515 mph, 830 km/h)
Range  
2,420 nmi[99] (2,785 mi, 4,482 km)
Service ceiling
45,000 ft (13,716 m)
Max wing loading
0.277
Minimum thrust/weight
0.277
Runway requirement
3,500 ft (1,064 m) long by 90 ft (27.4 m) wide




Harga pesawat ini $200 million.