Pages

Saturday, December 19, 2009

Suporter Fanatik: Sebuah Perbandingan




Entahlah...harusnya tulisan ini saya tulis beberapa hari yang lalu ketika terjebak macet dan berada di tengah konvoi suporter fanatik sepakbola Surabaya.
Anda pasti tahu suporter mana itu...

Sebenarnya terlepas dari sikap anarkisme yang kerap mereka tunjukkan, mereka mempunyai kesetiaan yang tinggi terhadap klub, mereka rela mendukung dimana saja klub kesayangannya berlaga meskipun dengan dana terbatas, harusnya mereka mendapatkan hasil lebih dari klub. Prestasi misalnya...
Tidak hanya di level klub, di level Tim Nasional misalnya...lihatlah ketika Timnas Indonesia berlaga di Gelora Bung Karno...semua tribun memerah dan gemuruh Indonesia Raya membuat suasana penuh nasionalisme, tapi apa yang kita dapat?

Negara ini sebenarnya telah mencukupi semua persyaratan menjadi negara dengan kekuatan sepakbola yang diperhitungkan. Siapa yang meragukan kemampuan Bambang Pamungkas dkk? Siapa yang meragukan keloyalitasan suporter fanatik kita? Siapa yang bisa menyaingi Stadion SUGBK kita di Asia Tenggara? Tapi satu yang tidak kita miliki... KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMAN SEPAKBOLA YANG HANDAL...

Okelah..kita kembali ke masalah suporter.
Jika melihat perbedaan antara suporter Indonesia dengan negara-negara lain, misalnya di Eropa, betapa banyak perbedaan-perbedaan yang menonjol, khususnya misi-misi yang dibawa suporter tersebut. Di Indonesia...loyalitas yang ditunjukkan suporter hanya sebagai bentuk dukungan terhadap klub yang dibelanya. Tapi jika kita melihat di negara-negara Eropa, biasanya suporter tersebut membawa misi khusus misalnya masalah politik dan identitas etnis.

Contohnya di Spanyol, Spanyol mempunyai banyak suporter sepakbola yang memperjuangkan aliran politik mereka. Hal ini disebabkan karena sejarah masa lalu Spanyol. Ketika rezim diktator Francisco Franco berkuasa, Real Madrid dijadikan pemimpin fasis tersebut sebagai simbol Spanyol. Ketika Catalan bangga dengan Barcelona sebagai identitas etnisnya, Franco merangkul Espanyol dan menjadi rival Barcelona. Di daerah Basque, untuk meredam kekuatan Athletic Bilbao yang juga merupakan bentuk identitas etnis Basque yang ingin merdeka dan lepas dari pemerintahan Spanyol, pemerintah menghidupkan klub Real Sociedad sebagai kekuatan oposisi. Franco juga menanamkan pengaruhnya di wilayah Andalusia dengan membentuk Real Betis Balompie sebagai upaya menandingi Sevilla.  Jadi anda bisa liha ketika klub yang beda aliran politik tersebut berlaga, maka tak jarang kerusuhan berbau politik akan terjadi.

Di Italia, laga Roma dan Lazio bukan hanya mempertemukan rivalitas masyarakat urban (basis mayoritas pendukung Roma) dan daerah suburban (basis Lazio), melainkan dua basis tifosi fanatik mereka yang secara politis berseberangan. Irriducibili adalah kelompok fanatik yang mendominasi Lazio dengan kader-kader fasis yang juga rasis beraliran eksterm kanan. Kekuatan mereka disaingi dengan kelompok fanatik Roma, Fedayn, yang beraliran ekstrim kiri. Fedayn juga mendominasi tifosi Livorno.
Selain masalah politik...rasism merupakan masalah besar yang dibawa dalam sepakbola italia. Sejarah Italia di masa lalu ketika dipimpin oleh diktator Benito Mussolini telah meninggalkan jejak yang nampaknya sulit dihilangkan dari sepakbloa Italia, khusunya perilaku para tifosi.

Belum lagi perilaku Hooligan di negara-negara seperti Inggris, Jerman, dan Belanda...

Wuih...itulah gambaran perbadaan suporter Indonesia dengan suporter di negara lain yang punya sejarah panjang dan kebanggaan tinggi terhadap identitas klub mereka. Klub adalah representasi simbol perjuangan mereka. Apapun perbedaan antara suporter Indonesia dengan mereka di Eropa, saya yakin filosofi mereka sama...
"...APAPUN...ASAL TIDAK KALAH"


....................................
Penulis adalah penggemar sepakbola
Data diolah dari berbagai sumber.

No comments:

Post a Comment