Pages

Wednesday, October 14, 2009

Konferensi Holocaust 2006 = Diplomasi Publik Iran


Hubungan Iran – Israel mengalami kemunduran sejak peristiwa Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 yang mengakibatkan tumbangnya rezim Shah yang berkuasa cukup lama. Pasca Revolusi Islam tersebut salah satu agenda politik Iran adalah anti-Israel, dimana Iran tidak mengakui keberadaan Israel sebagai negara dan mendukung perjuangan rakyat Palestina dalam menghadapi penjajahan Israel. Dalam menghadapi Israel dan membantu perjuangan Palestina, Israel antara lain memberikan bantuan dan dukungan kepada gerakan-gerakan perlawanan seperti di Palestina dan Lebanon Selatan, yaitu Jihad Islami dan Hizbullah. Dukungan tersebut berupa pelatihan militer, finansial, moril dan lain-lain. Selain itu pemerintah Iran juga memberikan bantuan finansial kepada Palestina yang diembargo oleh negara-negara Barat pasca kemenangan Hamas dalam pemilu di Palestiana.

Selain cara-cara tersebut diatas pemerintah Iran juga menggunakan diplomasi publik dalam menghadapi Israel. Diplomasi publik berangkat dari asumsi bahwa kekuatan bersenjata, politik, dan militer bukan merupakan satu-satunya cara penyelesaian masalah. Diplomasi publik mensyaratkan kerja sama yang erat dengan media massa internasional. Diplomasi tradisional dan instrumen-instrumen militer tidak lagi mencukupi untuk menyelesaikan masalah-masalah politik dan keamanan.

Istilah diplomasi publik pertama digunakan oleh Edmund Gullion, seorang diplomat Amerika Serikat dan ketua the Fletcher School of Law and Diplomacy di Tufts University pada tahun 1965, Gullion mengatakan bahwa:

public diplomacy . . . deals with the influence of public attitudes on the formationand execution of foreign policies. It encompasses dimensions of international relationsbeyond traditional diplomacy . . . [including] the cultivation by governmentsof public opinion in other countries; the interaction of private groups and interestsin one country with those of another . . . (and) the transnational flow of informationand ideas.” (www.rand.org).

Iran berusaha untuk mempengaruhi publik domestik dan internasional dengan cara mengangkat masalah Holocaust. Isu Holocaust bisa dikatakan sebagai perang wacana, karena selama ini terjadi perdebatan antara pihak yang mengakui kebenaran terjadinya Holocaust dengan pihak yang menyangkal kebenaran Holocaust atau biasa di sebut kaum revisionis dengan cara mengemukakan argumen-argumen yang mereka anggap benar. Masalah Holocaust di pilih oleh Iran karena masalah ini sangat sensitif bagi Israel, karena berdirinya negara Israel tidak lepas dari peristiwa Holocaust pada Perang Dunia II.

Sebagai puncaknya maka tanggal 11-12 Desember 2006, pemerintah Iran menyelenggarakan Konferensi Holocaust. Dalam konferensi tersebut, publik berinteraksi dan berperan dalam pembentukan suatu opini baru dalam masyarakat internasional. Iran mencoba membuka kebenaran tentang peristiwa Holocaust yang dijadikan pembenaran Israel dalam menduduki Palestina dan dalam konferensi ini setiap orang berhak mengeluarkan pendapatnya mengenai Holocaust, tujuannya adalah membentuk opini publik mengenai kebenaran Holocaust.

Opini publik mempunyai kekuatan, yaitu:

  • Menjadi hukuman sosial

  • Melanggengkan atau menghapuskan nilai dan norma kemasyarakatan.

  • Mengancam karir politik seseorang.

  • Mempertahankan atau menghancurkan sebuah organisasi atau institusi.

Dalam hal ini kekuatan opini publik yang digunakan adalah kedua dan keempat, yaitu melanggengkan atau menghapuskan nilai dan norma kemasyarakatan, dan mempertahankan atau menghancurkan sebuah organisasi atau institusi. Iran mengadakan Konferensi Holocaust untuk mengungkap sejarah dibalik Holocaust yang selama ini dianggap benar oleh negara-negara Barat dan dijadikan alat propaganda Zionis Israel. Maksud dari Konferensi ini tentunya untuk mendelegitimasi keberadaan negara Israel, dan membentuk opini masyarakat internasional tentang kebenaran Holocaust. Zionisme Israel memperoleh pembenarannya dalam melaksanakan agenda politiknya setelah sebelumnya menanamkan dan melontarkan mitos-mitos yang berujung pada berdirinya negara Israel. Mitos itu antara lain, mitos bahwa mereka berhak atas tanah Palestina, mitos mereka bangsa terpilih, dan mitos kekejaman Nazi Hitler atas orang Yahudi yang terlalu dibesar-besarkan (Holocaust). Padahal mitos ini tidak lain adalah usaha propaganda dan pembentukan opini publik untuk mengabsahkan perilaku Zionisme Israel. Mitos ini juga dimaksudkan agar berbagai perilaku kekerasannya mendapat legitimasi atau tertutupi. Kesan yang timbul adalah mereka bangsa yang tertindas yang kemudian diperbolehkan mengatasi ketertindasan itu dengan menindas bangsa lain.

Konferensi Holocaust yang diadakan di Iran pada tahun 2006 merupakan suatu alat bagi Iran untuk membentuk dan melawan opini publik yang sudah ada mengenai kebenaran Holocaust. Selama ini Holocaust dipandang sebagai sesuatu yang suci sehingga orang yang berani menyangkalnya dianggap sebagai pelanggaran besar dan dianggap sebagai Anti-Semitisme, Anti-Israel, Anti-Zionisme, dan Naziisme.

Target dan tujuan dari pembentukan opini publik mengenai isu ini pun jelas, yaitu meruntuhkan kepercayaan publik mengenai kebenaran Holocaust yang selama ini dibuat oleh orang-orang Yahudi dan Zionis untuk mencapai tujuan politiknya di Timur Tengah. Sejak Oktober 2005, Mahmoud Ahmadinejad terus menggulirkan wacana yang mempertanyakan kebenaran sejarah Holocaust. Wacana itu dibuka untuk meruntuhkan legitimasi bagi Israel. Dalam pidatonya pada bulan Desember 2005, Ahmadidejad mengatakan:Mereka telah mengarang-ngarang sebuah dongeng dengan judul “Pembantaian Massal Orang Yahudi” dan mereka memandang cerita tersebut lebih tinggi daripada Tuhan, agama, dan nabi-nabi mereka sendiri…(orang Barat) memperlakukan mereka yang menyangkal dongeng tersebut dengan sangat keras namun tidak melakukan apapun kepada mereka yang tidak mengakui Tuhan, agama, dan nabi-nabi mereka…”

Ahmadinejad pun mengusulkan agar Eropa menyediakan sebidang tanah bagi warga Yahudi yang dipercaya menjadi korban Holocaust, mengingat pelaku pembantaian tersebut adalah warga Eropa. Opini publik yang ingin dibuat oleh Ahmadinejad melalui Konferensi Holocaust diharapkan bisa menarik dukungan masyarakat internasional untuk menentang keberadaan Israel.

Jadi dapat dikatakan bahwa Konferensi Holocaust yang diselenggarakan Iran merupakan salah satu bentuk diplomasi publik.

2 comments:

  1. Hmmm,, Jika saya tanggapi mungkin akan berbeda dengan apa yang dikatakan Ahmadinejad..

    Tahun 2009 kemarin, Ahmadinejad juga mengatakan bahwa Holocaust adalah sebuah mitos.
    Dan atas pernyataannya tersebut, mendapat tanggapan dari Barack Obama selaku orang nomor satu Amerika Serikat, Obama mengatakan "Membuat saya semakin tidak sabar dengan orang yang tidak mengakui Holocaust. :)
    Tapi memang kepercayaan atau keyakinan atas suatu peristiwa itu tergantung bagaimana dan dari mana (sumber informasi) yang mereka dapatkan dan mempelajarinya secara mendalam.

    Salam HI UPN Yogya.

    ReplyDelete
  2. saya pikir ada alasan Ahmadinejad tidak mengakui Holocaust.. Karena Holocaust dijadikan Yahudi sebagai alasan untuk mendirikan negara Israel.

    ReplyDelete